Tak Sehat bila Gerindra Gabung Koalisi Jokowi
Rabu, 26 Juni 2019 22:34 WIBApabila kemudian sikap partai berubah hanya karena tawaran kursi dan jabatan, itu sama halnya dengan tidak menghargai pilihan dan kepercayaan rakyat. Rakyat akan berpikir bahwa kepercayaan rakyat dikalahkan oleh pragmatisme kepentingan jangka pendek elite partai.
Kabar tentang tawaran kepada Gerindra untuk bergabung dengan koalisi pengusung Joko Widodo beredar kencang akhir-akhir ini. Akankah Prabowo dan partainya mau menerima tawaran itu jika gugatannya di Mahkamah Konstitusi tidak membuahkan hasil seperti yang diinginkan? Di dalam koalisi pengusung Jokowi sendiri terdapat beragam respons terhadap kemungkinan itu, misalnya saja ‘boleh saja bergabung asalkan tidak mengurangi jatah menteri partai-partai koalisi’.
Bila tawaran itu benar ada dan dimaksudkan untuk menghindari gejolak, serta diterima oleh Gerindra, maka rakyat tentu punya penilaian sendiri terhadap Gerindra (juga terhadap Demokrat, PAN, dan PKS). Perlu diingat, ketika rakyat memilih figur tertentu dan partai tertentu, apakah Prabowo dan Gerindra ataupun Jokowi dan PDI-P, rakyat memutuskannya berdasarkan persepsi dan penilaian mereka terhadap sikap partai, cita-cita yang diusung partai, dan janji-janji partai serta posisi politik partai terhadap berbagai isu--meski mungkin banyak pula yang ikut-ikutan.
Apabila kemudian sikap partai berubah hanya karena tawaran kursi dan jabatan, itu sama halnya dengan tidak menghargai pilihan dan kepercayaan rakyat. Rakyat akan berpikir bahwa kepercayaan rakyat dikalahkan oleh pragmatisme kepentingan jangka pendek elite partai. Politikus bilang: “Apapun mungkin terjadi dalam politik.” Adagium ini memang sukar dibantah, tapi jika pragmatisme menjadi landasannya, sikap ini memperlihatkan seperti apa karakter politikus tersebut.
Pragmatisme politik berlawanan dengan komitmen untuk memperjuangkan cita-cita partai, yang boleh jadi menjadi daya tarik bagi pemilih. Rakyat akan kecewa bila komitmen yang semestinya dipegang teguh oleh partai ternyata dikalahkan oleh sikap pragmatis. Jika sikap partai berubah segera setelah perhelatan pilpres dan pileg usai, lantas apa makna pemberian suara oleh rakyat tersebut? Akankah kepercayaan rakyat diabaikan begitu saja?
Rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang berkompetisi memang diperlukan agar gesekan-gesekan di masyarakat menurun tensinya. Namun, rekonsiliasi tidak harus berwujud meleburnya kekuatan-kekuatan yang semula bersaing, bukan pula menjalankan praktik politik transaksional dengan memberi posisi-posisi tertentu. Ini sama saja dengan mempermainkan suara rakyat.
Dari segi praktik demokrasi, tidaklah sehat jika yang kalah kemudian bergabung dengan yang menang hanya karena pertimbangan pragmatis atau untuk menekan sikap kritis, padahal keduanya memiliki visi yang tidak sama. Akankah yang kalah kemudian menyesuaikan visinya hanya karena agar bisa bergabung ke dalam koalisi pemenang? Lantas siapa yang akan menjalankan peran mengkritisi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan?
Bila semua partai ingin memperoleh tempat di pemerintahan, siapa yang akan duduk di kursi oposisi? Bila semua elite politik ingin mendapatkan jabatan apapun—menteri, duta besar, kepala badan, atau anggota pertimbangan ini dan itu, untuk apa pemilihan umum diselenggarakan? Bila semua elite partai masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, siapa yang akan menyuarakan kepentingan rakyat jika pemerintahan berjalan tidak semestinya? Menjaga dan mewujudkan harapan rakyat tidaklah harus dengan duduk di pemerintahan, melainkan bisa dengan menjalankan fungsi kritis yang mampu menawarkan solusi-solusi berbeda yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan negeri ini.
Sistem demokrasi akan berjalan dengan sehat apabila fungsi-fungsi check and balances mampu dijalankan secara sehat pula—siapapun presidennya, bukan hanya Jokowi tapi juga presiden-presiden di masa mendatang. Sehat dalam pengertian wakil rakyat bena-benar menyuarakan kepentingan rakyat dalam melakukan koreksi terhadap pemerintah.
Manakala pemerintahan menghimpun banyak partai, koalisi akan jadi tambun. Demokrasi pun tidak akan sehat bila kekuatan di parlemen demikian lemah karena mayoritas mendukung pemerintah tanpa sikap kritis, sehingga sebagai institusi parlemen tidak mampu mengimbangi kekuatan eksekutif. Rakyat akan menjadi korban praktik demokrasi yang timpang dan salah arah. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler